CERPEN 

Rumah Berdinding Kertas

Cerpen: Latif Nur Janah ___________________________________________________________________

 

Pada pagi yang basah itu, jalan kecil yang memisahkan deretan rumah warga, menjelma lautan manusia. Semua tak pernah menyangka bahwa jalan selebar satu meter yang lebih sering basah sebab tergenangi air itu bahkan memenuhi layar-layar berita. Aku sendiri hampir tak percaya dengan pemandangan itu. Orang-orang berseragam, menenteng kamera besar-besar, berduyun-duyun seperti antre sembako sementara yang lain merekam dengan ponsel.

Kulongokkan kepala ke jendela beberapa detik. Bau sampah seketika mencabik hidungku. Meskipun kuakrabi, aku sangat benci bau seperti ini. Persis bau badan Suminah! Perempuan itulah yang membuat orang-orang datang ke sini. Karena ulahnya, hampir semua siaran berita menampakkan raut mukanya. Meski begitu, aku lebih prihatin dengan nasib suaminya, Kahar.

Kahar adalah teman baikku. Dia yang menolongku ketika segalanya tanggal dariku. Namun, Kahar mati! Kahar mati di tangan istrinya sendiri.

Belum genap dua puluh empat jam Suminah ke sini. Masih jelas bagaimana langkah grusa-grusu-nya memasuki rumahku.

“Katakan pada Kahar, aku sudah tidak tahan,” suara Suminah keluar bersama bau mulutnya yang bacin.

Aku tetap duduk di kursi. Kuisap ujung rokokku dalam-dalam. Aroma tembakau segera pudar oleh bau anyir sampah.

“Itu urusanmu,” kataku di antara kepulan asap.

“Kahar teman baikmu,”

“Dan kau istrinya,”
Kulirik Suminah. Gelisah tampak di mukanya.

“Aku bahkan bercita-cita seperti Kahar,”
“Kalian sama gilanya!” Suminah mendesis.

Ia pulang dengan bersungut-sungut. Aku masih pada posisiku. Dari tempatku, aku melihat Suminah memasuki rumahnya. Empasan daun pintu membuat lembaran kertas pada tumpukannya terbuka.

Tumpukan-tumpukan kertas itulah yang membuat Suminah selalu murka. Ia bahkan tak peduli jika Kahar harus mengumpulkan lembar demi lembar kertas itu dengan susah payah. Ah, benarkah dengan susah payah?Bukankah Kahar hanya perlu mengais kertas itu dari tong sampah atau setoran bak-bak truk yang datang setiap hari? Dan dari sana, bukankah sangat mudah mengambil apa saja yang ia inginkan? Batinku tak bisa berhenti bicara.

Ingatanku mulai bersusur pada malam ketika aku tak sengaja membelok ke jalan ini. Bau amis nyaris sama, dengan kepulan asap tipis di mana-mana. Asap dari pembakaran sampah sudah serupa pewangi pakaian orang-orang di sini. Maka jangan heran jika bau pakaian mereka selalu apak. Begitu pun saat Kahar mendekatiku malam itu. Aku tengah duduk di tumpukan batu hitam di ujung jalan. Dari setiap gerakan tangannya, ada bau apak pakaian yang menguar.

“Anda bukan orang sini,” katanya. Bibir hitamnya hampir tertutup oleh kumisnya yang kasar.

“Ya dan bukan urusanmu.”

“Maka akan menjadi urusan mereka,” mata Kahar mengerling pada segerombol preman tak begitu jauh dari tempat kami.

“Tunggulah sebentar,” Kahar berbalik badan lantas berjalan menjauh.

Preman-preman itu menatapku dengan curiga. Persetan! Aku tidak peduli! Sebelum mataku benar-benar bisa melihat wajah-wajah mereka, Kahar telah kembali. Di tangannya, ada segelas kopi. Aromanya mengejekku sebagai laki-laki. Baru kali itu, aku merasa segelas kopi begitu mahal harganya. Dan sialnya, aku tak mampu membelinya. Aku tak memiliki uang sepeser pun.

“Itu rumahku. Jika kau butuh sesuatu.” kata Kahar sebelum meninggalkanku.

Angin panas mulai menampar-nampar wajahku. Semakin malam, rupanya tak ada yang berubah. Bau apak, anyir sampah, dengung nyamuk, bahkan suara seng yang terbentur-bentur benda lain memenuhi telingaku. Kopi dari Kahar tandas sejak beberapa jam lalu. Semua kombinasi itu, membuat mataku enggan pejam.

Kususuri tempat ini. Rumah-rumah mungil temaram oleh bohlam. Lihatlah! Kataku pada diriku sendiri. Betapa rumah-rumah ini hanya berdiri di atas tanah-tanah basah dengan dinding kayu atau bambu yang mulai lapuk. Beberapa bahkan bersekat kardus-kardus bekas atau kain-kain rombeng yang diikat serampangan dengan tali plastik.

Namun, tunggu! Tepat ketika langkahku berhenti pada sebuah tikungan, ada satu rumah kecil yang bahkan tak kulihat di mana pintunya. Kertas-kertas tertumpuk rapi seperti susunan batu bata. Pada dasar tumpukannya, kulihat plastik-plastik hitam besar tergelar sebagai alas, tetapi koloni rayap pun seperti berpesta pora di antara tumpukan itu.

Aku hampir berjingkat ketika seorang pria muncul di antara tumpukan itu.

“Tidurlah di sini jika mau,” katanya, “Ini rumahku. Oh, ya, kau boleh memanggilku Kahar.”

“Gelas kopimu masih di sana,” kataku akhirnya. Aku sendiri bisa mendengar nada suaraku tak begitu ketus seperti sebelumnya. Bagaimana pun, Kahar sudah memberi segelas kopi untukku.

“Untuk apa kertas-kertas itu?”

Beberapa detik aku menyesali pertanyaan itu. Tentu saja untuk dijual ke pengepul. Apalagi yang bisa dilakukan oleh orang-orang kumuh semacam Kahar dan tetangga-tetangganya di sini selain mengorek sampah dan menjualnya kembali?

“Segala yang bisa kubaca dari kertas-kertas, akan kukumpulkan.”

“Mungkin karena harganya lebih mahal?”

Kahar tergelak, “Paling rendah di antara rongsokan yang lain.”

Seorang wanita muncul dari dalam rumah. Ketika pintu yang terbuat dari kayu lapuk itu terbuka, aku melihat lebih banyak lagi tumpukan kertas di dalam sana. Alih-alih bertanya siapa aku, wanita itu tiba-tiba berkata, “Kamu bisa membelinya jika mau.”

Mata wanita itu secara perlahan mengamatiku. Beberapa saat, ia mungkin sadar bahwa ia telah berkata pada orang yang salah.

“Siapa dia?” tanya wanita itu pada Kahar.

Kahar mengedikkan bahu.

“Kalian bisa panggil aku Tegar,” kataku singkat. Dan, tentu saja berbohong. Aku tidak mungkin mengatakan identitasku yang sebenarnya pada orang yang baru kukenal.

Tak hirau pada kata-kataku, wanita itu kembali ke dalam.

Tanpa uang sepeser pun, aku tak mungkin pulang. Dulu, aku bisa saja menumpang di rumah pacarku. Dengan dalih honor tulisanku yang belum cair, aku dibolehkannya menginap beberapa malam. Namun, beberapa bulan ini, hubungan kami renggang. Dua malam yang lalu, ia justru mengabariku bahwa ia telah bertunangan dengan orang lain. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Rasa-rasanya, aku bosan hidup. Selama tiga hari ini, aku hanya hidup di atas kakiku. Hanya menuruti ke mana kaki melangkah. Termasuk berhenti di tempat kumuh seperti ini.

“Patah hati adalah bahan bakar untuk menulis puisi,” kata-kata pacarku itu terngiang kembali.

Maka, dua malam lalu sebelum aku sampai ke tempat ini, otakku terperas untuk menuliskan sebuah puisi. Namun, jangankan sebuah, satu baris pun tak dapat kutuliskan. Wajah pacarku menari-nari di atas kertas dan ujung pulpenku. Ia tak menjadi bahan bakar, tetapi menjadikanku bahan ejekan. Secara perlahan, senyumnya berubah seringai. Malam itu, aku bersumpah untuk tak lagi menulis puisi.

Sebulan sudah aku berada di tempat ini. Rumah kecil dari seng-seng yang mengalami korosi kususun menjadi sekat yang menutupiku ketika tidur. Lebih dari cukup untuk melindungiku dari hujan dan panas. Tangan dan kakiku mulai akrab dan terampil memilah sampah. Kantong bajuku telah karib dengan lembaran-lembaran duaribu rupiah lusuh yang kudapat dari sampah-sampah itu setelah menjualnya.
*

Hujan tipis yang turun sore tadi, membuat bau sampah semakin bacin. Bau itu tumpang tindih dengan bau asap rumah Kahar. Kabarnya, Suminah dibawa polisi. Lagipula, siapa lagi kalau bukan dia yang membakar rumahnya sendiri? Sejauh ini, semua orang sangat menghindari rumah Kahar ketika merokok atau sedang berdekatan dengan api.

Mataku terpaku ke ujung jalan. Di antara samar asap yang masih membumbung, ada dua orang laki-laki berjalan ke arahku. Setelah mengetuk pintuku dengan tergesa, kupersilakan mereka masuk dan duduk. Aku belum bereaksi ketika mereka berkata akan membawaku ke kantor polisi. Maka, sebelum itu terjadi, kuceritakan semua tentang Suminah dan Kahar kepada mereka seterang-terangnya.

Suminah datang ke rumahku beberapa jam sebelum membakar rumah dan suaminya. Ia memintaku untuk membuat Kahar berubah. Suminah muak melihat Kahar yang bergelut dengan kertas setiap harinya. Apa saja yang bisa Kahar baca, maka akan dibawanya pulang, ditumpuk, dan dibiarkan. Ia tak pernah menjadikan kertas-kertas itu sebagai uang.

“Kahar semakin menggila setelah kenal denganmu,” kata-kata Suminah itu begitu saja muncul di kepalaku.

Memang, tak ada manusia seperti Kahar yang rela hidup bersama kertas-kertas. Sampai ia berkarib dengan rayap dan ngengat. Barangkali tak ada salahnya untuk menengok Suminah ke kantor polisi. Setidaknya, dengan kedatanganku, akan memberi sedikit kelegaan bagi polisi.

Ketika aku datang, Suminah masih dalam pemeriksaan. Aku diperbolehkan untuk bertemu dengannya. Pada saat itu, ia hanya berkata, “Lihatlah, Pak, sesungguhnya dialah yang membunuh suami saya. ”

Seorang polisi lalu berkata padaku, di antara sekian banyak kertas-kertas yang telah dibakar Suminah, ada sekian tumpuk puisi-puisi tulisan seseorang. Tak tertera nama Tegar di sana, tetapi keterangan polisi itu, membuatku merasa menjadi dalang atas kematian Kahar meskipun bukan aku yang membakar rumahnya. Dan kurasakan, justru Kahar semakin hidup di dalam ingatan.

 

 

Latif Nur Janah, tinggal di Sragen, Jawa Tengah. Karyanya berupa cerpen banyak tersiar di media daring dan cetak.

 

Related posts

Leave a Comment

ten − 2 =